Kamis, 20 September 2018

Kehidupan ekonomi masa Demokrasi Terpimpin


Kehidupan ekonomi masa Demokrasi Terpimpin. Pada masa Demokrasi Terpimpin keadaan ekonomi dan keuangan Indonesia mengalami masa suram. Untuk menanggulangi keadaan ekonomi tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan di bidang ekonomi dan keuangan.

Pembentukan Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas)
Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi, di bawah Kabinet Karya dibentuk Dewan Perancang Nasional (Depernas) pada tanggal 15 Agustus 1959. Depernas dipimpin oleh Muh. Yamin dengan anggota berjumlah 50 orang.

Tentang pembentukan Depernas tersebut tertuang dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1958 dan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1958. Tugas Depernas adalah menyiapkan rancangan undang-undang pembangunan nasional dan menilai penyelenggaraan pembangunan.

Hasil yang dicapai Depernas dalam waktu satu tahun berhasil menyusun Rancangan Dasar Undang-Undang Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan tahun 1961 - 1969 yang disetujui oleh MPRS dengan Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960.

Tugas Bappenas
Pada tahun 1963, Depernas dibanti nama menjadi Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Adapun tugas Bappenas adalah sebagai berikut :
  1. Menyusun rencana pembangunan jangka panjang dan jangka pendek.
  2. Mengawasi pelaksanaan pembangunan.
  3. Menilai kerja mandataris MPRS.
Penurunan nilai uang (Devaluasi)
Tujuan dilakukan devaluasi adalah untuk membendung inflasi yang tetap tinggi, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat, dan meningkatkan nilai rupiah, sehingga rakyat kecil tidak dirugikan. Untuk membendung inflasi dan mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat, pada tanggal 25 Agustus 1950 pemerintah mengumumkan penurunan nilai uang (devaluasi) sebagai berikut :
  1. Uang kertas pecahan bernilai Rp 500,00 menjadi Rp 50,00.
  2. Uang kertas pecahan bernilai Rp 1.000,00 menjadi Rp 100,00
  3. Semua simpanan di bank yang melebihi Rp 25.000,00 dibekukan.
Namun, usaha pemerintah tersebut tidak mampu mengatasi kemerosotan ekonomi, terutama perbaikan dalam bidang moneter.
Deklarasi Ekonomi (Dekon)
Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang semakin suram, maka pada tanggal 28 Maret 1963 dikeluarkan landasan baru bagi perbaikan ekonomi secara menyeluruh, yaitu deklarasi ekonomi atau disingkat dekon.

Tujuan dibentuk dekon adalah untuk menciptakan ekonomi yang bersifat nasional, demokratis, dan bebas dari sisa-sisa imperialisme untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin.

Namun, dalam pelaksanaannya, dekon tidak mempu mengatasi kesulitan ekonomi dan masalah inflasi, dekon justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem statisme.

Artinya, masalah perekonomian diatur atau dipegang oleh pemerintah, sedangkan prinsip-prinsip dasar ekonomi banyak diabaikan.

Akibatnya, defisit dari tahun ke tahun semakin meningkat menjadi 40 kali lipat. Defisit yang semakin meningkat tersebut dengan pencetakan uang baru tanpa perhitungan yang matang, sehingga menambah berat beban inflasi.

Dalam rangka pelaksanaan ekonomi terpimpin, pada tanggal 11 Mei 1965, Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden No. 8 Tahun 1965 tentang Bank Tunggal Miliki Negara. Bank tersebut kedudukannya di bawah urusan menteri bank sentral. Bank-bank pemerintah menjadi unit-unit dari Bank Negara Indonesia.

Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah untuk memperbarui ekonomi tersebut ternyata mengalami kegagalan. Adapun faktor penyebabnya adalah sebagai berikut :
  1. Penanganan masalah ekonomi tidak rasional.
  2. Ekonomi lebih bersifat politik dan tidak ada kontrol.
  3. Pengeluaran negara cukup besar.
  4. Devisa yang semakin meningkat ditutup dengan pencetakan uang baru yang menyebabkan inflasi semakin membumbung tinggi.
  5. Struktur ekonomi menjurus ke ekonomi etatisme (semuanya diatur dan dipegang oleh negara).
Referensi lain penyebab kegagalan pemerintah ini bisa anda baca di artikel :

Kebijakan pemerintah lainnya
Dalam usaha perdagangan, pemerintah mengeluarkan peraturan tanggal 17 April 1964 mengenai adanya Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (Kotoe) dan Kesatuan Operasi (Kesop). Kotoe bergerak secara sentralistik untuk mengatur perekonomian negara, sedangkan tujuan dibentuk Kesop adalah untuk meningkatkan sektor perdagangan.

Perbandingan Kebijakan Luar Negeri Soekarno dan Soeharto

Perbandingan Kebijakan Luar Negeri Soekarno dan Soeharto – Pada masa pemerintahan pasca kemerdekaan Indonesia, keadaan politik luar negeri Indonesia ditentukan oleh keadaan domestik atau pergejolakan yang terjadi di dalam negara ini. Peristiwa tersebut menghasilkan politik luar negeri Indonesia yang dinamakan politik bebas aktif. Politik bebas aktif ini terbentuk dengan berbagai pemikiran-pemikiran Bung Hatta yang melihat keadaan politik internasional pasca Perang Dunia ke-2 melahirkan dua kekuatan besar dengan ideologi negaranya yang menyelimuti keadaan masyarakat internasional yaitu, kubu Uni Soviet dengan Amerika Serikat.
Pelaksanaan Politik Bebas Aktif pada masa Orde Lama, saat sistem parlementer digunakan oleh Presiden Soekarno, kebijakan politik bebas aktif Indonesia adalah dengan tidak memilih atau berpihak pada salah satu kubu tersebut dan bersama Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk berkontribusi menjaga perdamaian dunia dan menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada dua kubu besar tersebut. Dengan Idealisme yang tinggi, Indonesia menjunjung perdamaian dunia sambil mengusahakan perjuangannya menyelesaikan masalah Irian Barat dalam wadah PBB, namun dalam masalah Irian Barat prakteknya selalu nihil. Pada masa 4 kabinet pertama, Indonesia mendekatkan diri dengan Amerika Serikat dikarenakan pandangan Sukiman terhadap Komunis dan Uni Soviet yang dipimpin oleh Stalin meskipun pada akhirnya berubah saat Stalin turun  dan John Foster Dulles memerintah Amerika Serikat.
kebijakan luar negeri soekarno
Ketidakmampuan pemerintahan Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer dalam menyelesaikan masalah Irian Barat membuat pemimpin Indonesia harus mengganti sistem pemerintahannya menjadi sistem Demokrasi Terpimpin dan juga kepribadian Soekarno yang ingin mendominasi negara meskipun tujuan dari hal tersebut adalah untuk menjalankan politik luar negeri sesuai dengan keinginannya. Kepemimpinan Soekarno ini dimulai dengan membawa masalah Irian Barat kedalam PBB, dan pada tahun 1957, resolusi masalah tersebut menempuh kegagalan dan memperburuk hubungan Indonesia dengan Belanda dan pada  akhirnya 1960, Indonesia mengeluarkan diri dari PBB karena dianggap tidak mendapatkan keuntungan dari organisasi internasional tersebut.
BACA JUGA: Kebijakan Soekarno di Masa Perang Dingin
Keagresifan Soekarno dan kepribadiannya dalam mengambil keputusan menciptakan suatu kebijakan untuk merebut Irian Barat dengan kekuatan militer Indonesia sendiri yang mengakibatkan kekhawatiran Amerika Serikat akan kapabilitas Indonesia terhadap kekuatannya, sehingga Amerika Serikat mengirim utusannya untuk berdiplomasi lansung dengan Soekarno dalam masalah penyelesaian Irian Barat tersebut. Pelaksanaan politik luar negeri dalam masa pemerintahan Soekarno menurut kelompok kami sudah sesuai dan mencerminkan nilai-nilai dari politik bebas dan aktif Indonesia.
Dengan selesainya masalah Irian Barat dan terbentuknya Gerakan Non-Blok, dapat kami katakan dominasi Soekarno terhadap Indonesia menuntun negara ini kepada kesuksesan dan tercapainya tujuan dari negara ini, hal ini memperlihatkan jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang independen dan kepemimpinannya sangat terlihat oleh masyarakat internasional.
Jatuhnya Soekarno mewariskan inflasi yang sangat tinggi kepada kepemimpinan Soeharto, dan hal ini mengakibatkan Presiden Soeharto harus membuka investasi asing dan mengambil pinjaman luar negeri dalam kebijakannya untuk menstabilkan kembali keadaan ekonomi Indonesia. Politik Indonesia dibawah kepemimpinan  Soeharto dengan prinsip anti-komunisnya membuat hubungan Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok memburuk, dengan pemikiran bahwa partai komunis di Indonesia pada saat itu mendapat bantuan dari negara tersebut, meskipun hubungan dengan Uni Soviet tetap terjalin dengan baik.
BACA JUGA: Konflik Timor Timur yang Berkepanjangan
Dengan tujuan membangun ekonomi Indonesia, maka Soeharto harus meningkatkan keamanan dan memberikan rasa kepercayaan terhadap investor asing agar investor tersebut dapat menanamkan modalnya di Indonesia, namun kebijakan politik luar negeri ini membuat Indonesia menjadi sangat beketergantungan terhadap modal asing dan pinjaman dari luar negeri, hal ini menyebabkan sektor mikro ekonomi kita menjadi terhambat dan pinjaman luar negeri ini pun hanya dirasakan oleh masyarakat Jawa dan sekitarnya saja sehingga membuat pembangunan menjadi tidak merata di wilayah lain. Pinjaman luar negeri sangat membantu dalam membangun Indonesia namun melahirkan benih-benih perpecahan dalam masyarakat Indonesia itu sendiri, hal ini memberikan dampak negatif dalam domestik.
Adanya konflik dengan Malaysia yang dimulai saat pemerintahan Soekarno memberikan ruang untuk menyelesaikan konflik tersebut, hal ini dimulai dengan pembentukan ASEAN yang merupakan integrasi dari negara-negara kawasan Asia Tenggara dan juga yang awalnya negara-negara anti-komunis. Indonesia juga menjadi negara kepercayaan Barat, berbeda pada zaman Soekarno yang tidak menginginkan adanya investasi dari pihak asing.
Situasi lain yang membedakan politik luar negeri bebas aktif Indonesia Soeharto dengan Soekarno adalah Soeharto menginvasi Timor-Timur untuk menjadikan negara tersebut sebagai bagian dari negara Indonesia, dengan asumsi Timor-Timur menganut paham sosialis dan membawa kekhawatiran  terhadap Indonesia akan paham tersebut kembali berkembang. Politik Indonesia yang sangat dekat dengan Barat pada saat itu membuat Indonesia sangat didukung pada dekade 1980-an dan mendominasi ASEAN, namun semua dukungan Barat terhadap Indonesia semakin lama menjadi berkurang seiring berakhirnya perang dingin dengan Amerika Serikat sebagai pemenang.
BACA JUGA: Sino-Vietnam Relations
Ketergantungan utang luar negeri Indonesia membuat posisi Indonesia terpuruk pada saat krisis Asia Tenggara yang dimulai 1997. Situasi ini mengakibatkan Indonesia harus menambah pinjaman lagi terhadap IMF (International Monetary Fund). Dapat disimpulkan, pelaksanaan dari politik bebas aktif yang dipraktekkan oleh pemerintahan Presiden Soeharto, sangat tergantung dan lebih memilih pihak Barat sehingga tidak mencerminkan nilai bebas dalam politik bebas-aktif, namun kepemimpinan Indonesia di dunia Internasional, khusunya dalam ASEAN sangat terlihat signifikan.
Kesimpulan dari kelompok kami adalah politik bebas-aktif dalam pemerintahan Soekarno bejalan sesuai dengan konsep politik bebas-aktif itu sendiri, seperti netralitasnya didunia internasional (menjalankan nilai bebas dalam politik luar negerinya). Berbeda dengan pemerintahan Soeharto yang sangat bergantung dengan salah satu pihak dan menghilangkan citra bangsa Indonesia yang independen, serta tidak mencerminkan nilai “bebas” dari politik luar negeri Indonesia.  Namun kesuksesan dari pelaksanaan politik luar negeri dari dua rezim ini memberikan keberhasilan masing-masing rezim yang memberi manfaat besar terhadap keadaan Indonesia. Jadi kedua rezim tersebut tetap berhasil dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di Indonesia meskipun memiliki dampak terhadap kebijakan yang dilakukan.

Landasan Konstitusional, Idiil dan Operasional Serta Tujuan dan Sasaran Dari Pelaksanaan Politik Luar Negeri Bebas Aktif Indonesia

Berikut ini akan kita bahas mengenai landasan konstitusional politik luar negeri indonesia, landasan politik luar negeri indonesia, landasan idiil politik luar negeri indonesia, politik luar negeri bebas aktif, tujuan politik luar negeri bebas aktif, landasan politik luar negeri, landasan politik luar negeri bebas aktif, tujuan politik luar negeri, tujuan politik bebas aktif, politik luar negeri indonesia, tujuan politik luar negeri indonesia.

Landasan Politik Luar Negeri Indonesia

Politik luar negeri suatu negara lahir ketika negara itu sudah dinyatakan sebagai suatu negara yang berdaulat. Setiap entitas negara yang berdaulat memiliki kebijakan yang mengatur hubungannya dengan dunia internasional, baik berupa negara maupun komunitas internasional lainnya. 

Landasan Konstitusional, Idiil dan Operasional Serta Tujuan dan Sasaran Dari Pelaksanaan Politik Luar Negeri Bebas Aktif Indonesia

Kebijakan tersebut merupakan bagian dari politik luar negeri yang dijalankan negara dan merupakan pencerminan dari kepentingan nasionalnya. 

Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat juga menjalankan politik luar negeri yang senantiasa berkembang disesuaikan dengan kebutuhan dalam negeri dan perubahan situasi internasional.

Landasan Ideal dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia adalah Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dijadikan sebagai pedoman, pijakan dalam melaksanakan politik luar negeri Indonesia. 

Mohammad Hatta menyebutnya sebagai salah satu faktor yang membentuk politik luar negeri Indonesia. Kelima sila yang termuat dalam Pancasila, berisi pedoman dasar bagi pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal dan mencakup seluruh sendi kehidupan manusia. 

Hatta lebih lanjut mengatakan, bahwa Pancasila merupakan salah satu faktor objektif yang berpengaruh atas politik luar negeri Indonesia. 

Hal ini karena Pancasila sebagai falsafah negara mengikat seluruh bangsa Indonesia, sehingga golongan atau partai politik manapun yang berkuasa di Indonesia tidak dapat menjalankan suatu politik negara yang menyimpang dari Pancasila.

Sedangkan landasan konstitusional dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 alinea pertama;

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” dan alinea keempat”…. dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial….”.

Tujuan politik luar negeri bebas aktif adalah untuk mengabdi kepada tujuan nasional bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang menyatakan: 

“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial….”

Kemudian agar prinsip bebas aktif dapat dioperasionalisasikan dalam politik luar negeri Indonesia, maka setiap periode pemerintahan menetapkan landasan operasional politik luar negeri Indonesia yang senantiasa berubah sesuai dengan kepentingan nasional.

Sejak awal kemerdekaan hingga masa Orde Lama, landasan operasional dari politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif sebagian besar dinyatakan melalui maklumat dan pidato-pidato Presiden Soekarno. 

Beberapa saat setelah kemerdekaan, dikeluarkanlah Maklumat Politik Pemerintah tanggal 1 November 1945 yang isinya adalah; 

Politik damai dan hidup berdampingan secara damai; tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain; politik bertetangga baik dan kerjasama dengan semua negara di bidang ekonomi, politik dan lain-lain; serta selalu mengacu pada piagam PBB dalam melakukan hubungan dengan negara lain. 

Selanjutnya pada masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 landasan operasional politik luar negeri Indonesia adalah berdasarkan UUD 1945 yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 alinea pertama, pasal 11 dan pasal 13 ayat 1 dan 2 UUD 1945, Amanat Presiden yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” pada 17 Agustus 1959 atau dikenal sebagai “Manifesto Politik Republik Indonesia”.

Amanat Presiden itu sendiri kemudian dijadikan sebagai Garis Besar Haluan Negara. Berkaitan dengan kebijakan politik luar negeri, Manifesto tersebut memuat tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek, yaitu :

Tudjuan djangka pendek jaitu melandjutkan perdjuangan anti imperialisme ditambah dengan mempertahankan kepribadian Indonesia di tengah-tengah tarikan-tarikan ke kanan dan ke kiri jang sekarang sedang berlaku kepada negara kita dalam pergolakan dunia menudju kepada suatu imbangan baru. 

Sementara dalam djangka pandjang di bidang luar negeri, Revolusi Indonesia bertudjuan melenjapkan imperialisme di mana-mana, dan mentjapai dasar-dasar bagi perdamaian dunia jang kekal dan abadi. 

Menurut Manipol, diplomasi jang sesuai dengan fungsinja sebagai art jang berhubungan dengan tjara melaksanakannja harus tidak mengenal kompromi, harus radikal dan revolusioner. ( Panitia Penulisan Sedjarah Departemen Luar Negeri,, 1971 . Jakarta: Deplu, 1971, hlm.259)

Tujuan jangka pendek dan jangka panjang tidak terlepas dari sejarah Indonesia, sebagai bangsa yang pernah mengalami penjajahan. 

Walaupun Indonesia sudah merdeka, perjuangan untuk melenyapkan imperialisme belum berakhir, sebab negara-negara yang dianggap imperialis dan kolonialis (Barat), masih ada dan berusaha menanamkan pengaruhnya. 

Indonesia berusaha pula menghindari dari keberpihakan pada dua blok yang bersengketa dan masuk menjadi anggota Non Blok.

Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik/Manipol Indonesia berdasarkan pada amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang terkenal dengan nama “Djalanja Revolusi Kita”, yang menetapkan penegasan mengenai cara-cara pelaksanaan Manipol di bidang politik luar negeri. 

Politik luar negeri Indonesia tidak netral, tidak menjadi penonton dan tidak tanpa prinsip. Politik bebas tidak sekedar “cuci tangan”, tidak sekedar defensif, tapi aktif dan berprinsip serta berpendirian.

Manipol, Djarek (Djalanja Revolusi Kita), merupakan embrio kelahiran serta doktrin baru, yaitu dunia tidak terbagi dalam Blok Barat , Blok Timur dan Blok Asia Afrika/Blok ketiga. 

Akan tetapi dunia terbagi menjadi dua Blok yang saling bertentangan yaitu New Emerging Forces /Nefos dan Old Established Forces/Oldefos.

Nefos merupakan kekuatan-kekuatan baru yang sedang bangkit. Sementara Oldefos merupakan kekuatan-kekuatan lama yang sudah mapan. Doktrin Nefos dan Oldefos menjadi dasar politik luar negeri anti imperialis dan kolonialis yang lebih militan. 

Soekarno mewujudkan gagasan Nefos dan Oldefos itu dengan suatu strategi diplomasi yang agresif dan konfrontatif dengan negara-negara Barat.

Pada masa Orde Baru, landasan operasional politik luar negeri Indonesia kemudian semakin dipertegas dengan beberapa peraturan formal, diantaranya adalah Ketetapan MPRS no. XII/ MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang penegasan kembali landasan kebijaksanaan politik luar negeri Indonesia. TAP MPRS ini menyatakan bahwa sifat politik luar negeri Indonesia adalah:
  1. Bebas aktif, anti-imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk manifestasinya dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
  2. Mengabdi kepada kepentingan nasional dan amanat penderitaan rakyat.
Selanjutnya landasan operasional kebijakan politik luar negeri RI dipertegas lagi dalam Ketetapan MPR tanggal 22 Maret 1973, yang berisi:
  1. Terus melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif dengan mengabdikannya kepada kepentingan nasional, khususnya pembangunan ekonomi;
  2. Mengambil langkah-langkah untuk memantapkan stabilitas wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya, sehingga memungkinkan negara-negara di wilayah ini mampu mengurus masa depannya sendiri melalui pembangunan ketahanan nasional masing-masing, serta memperkuat wadah dan kerjasama antara negara anggota perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara;
  3. Mengembangkan kerjasama untuk maksud-maksud damai dengan semua negara dan badan-badan internasional dan lebih meningkatkan peranannya dalam membantu bangsa-bangsa yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya tanpa mengorbankan kepentingan dan kedaulatan nasional.
Ketetapan-ketetapan MPR era Orde Baru dijabarkan dalam pola umum pembangunan jangka panjang dan pola umum pelita dua hingga enam, pada intinya menyebutkan bahwa dalam bidang politik luar negeri yang bebas dan aktif diusahakan agar Indonesia dapat terus meningkatkan peranannya dalam memberikan sumbangannya untuk turut serta menciptakan perdamaian dunia yang abadi, adil dan sejahtera. 

Namun demikan, menarik untuk dicatat bahwa TAP MPR RI No. IV/MPR/1973 berbeda dengan TAP MPRS tahun 1966. 

Perbedaan ini seiring dengan pergantian pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, sehingga konsep perjuangan Indonesia yang selalu didengung-dengungkan oleh Soekarno sebagai anti-kolonialisme dan anti-imperialisme tidak lagi memunculkan dalam TAP MPR tahun 1973 di atas. 

Selain itu, sosok politik luar negeri Indonesia juga lebih difokuskan pada upaya pembangunan bidang ekonomi dan peningkatan kerjasama dengan dunia internasional.

Selanjutnya TAP MPR RI No. IV/MPR/1978, pelaksanaan politik luar negeri Indonesia juga telah diperluas, yaitu ditujukan untuk kepentingan pembangunan di segala bidang. 

Realitas ini berbeda dengan TAP-TAP MPR sebelumnya, yang pada umumnya hanya mencakup satu aspek pembangunan saja, yaitu bidang ekonomi. 

Pada TAP MPR RI No. II/MPR/1983, sasaran politik luar negeri Indonesia dijelaskan secara lebih spesifik dan rinci. Perubahan ini menandakan bahwa Indonesia sudah mulai mengikuti dinamika politik internasional yang berkembang saat itu. 

Pasca-Orde Baru atau dikenal dengan periode Reformasi yang dimulai dari masa pemerintahan B.J. Habibie sampai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono secara substansif landasan operasional politik luar negeri Indonesia dapat dilihat melalui: 

Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tanggal 19 Oktober 1999 tentang garis-garis besar haluan negara dalam rangka mewujudkan tujuan nasional periode 1999-2004. 

GBHN ini menekankan pada faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya krisis ekonomi dan krisis nasional pada 1997, yang kemudian dapat mengancam integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Diantaranya adanya ketidakseimbangan dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi yang demokratis dan berkeadilan. 

Oleh karena itu, GBHN juga menekankan perlunya upaya reformasi di berbagai bidang, khususnya memberantas segala bentuk penyelewengan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme serta kejahatan ekonomi dan penyalahgunaan kekuasaan. 

Selanjutnya ketetapan ini juga menetapkan sasaran-sasaran yang harus dicapai dalam pelaksanaan politik dan hubungan luar negeri, yaitu:
  1. menegaskan kembali pelaksanaan politik bebas dan aktif menuju pencapaian tujuan nasional;
  2. ikut serta di dalam perjanjian internasional dan peningkatan kerja sama untuk kepentingan rakyat Indonesia;
  3. memperbaiki performa, penampilan diplomat Indonesia dalam rangka suksesnya pelaksanaan diplomasi pro-aktif di semua bidang;
  4. meningkatkan kualitas diplomasi dalam rangka mencapai pemulihan ekonomi yang cepat melalui intensifikasi kerja sama regional dan internasional;
  5. mengintensifkan kesiapan Indonesia memasuki era perdagangan bebas;
  6. memperluas perjanjian ekstradisi dengan negara-negara tetangga;
  7. mengintensifkan kerja sama dengan negara-negara tetangga dalam kerangka ASEAN dengan tujuan memelihara stabilitas dan kemakmuran di wilayah Asia Tenggara.
Ketetapan MPR diatas, secara jelas menegaskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif, berorientasi untuk kepentingan nasional, menitikberatkan pada solidaritas antarnegara berkembang, mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa, menolak segala bentuk penjajahan serta meningkatkan kemandirian bengsa dan kerjasama internasional bagi kesejahteraan rakyat.

Masa Demokrasi Liberal sampai Demokrasi Terpimpin

Masa Demokrasi Liberal sampai Demokrasi Terpimpin Pelaksanaan demokrasi liberal sesuai dengan konstitusi yang berlaku saat itu, yakni Undang Undang Dasar Sementara 1950. Kondisi ini bahkan sudah dirintis sejak dikeluarkannya maklumat pemerintah tanggal 16 Oktober 1945 dan maklumat tanggal 3 November 1945, tetapi kemudian terbukti bahwa demokrasi liberal atau parlementer yang meniru sistem Eropa Barat kurang sesuai diterapkan di Indonesia. Tahun 1950 sampai 1959 merupakan masa berkiprahnya parta-partai politik. Dua partai terkuat pada masa itu (PNI & Masyumi) silih berganti memimpin kabinet. Sering bergantinya kabinet sering menimbulkan ketidakstabilan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan. Ciri-ciri demokrasi liberal adalah sebagai berikut :
  • Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat
  • Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah
  • Presiden bisa dan berhak berhak membubarkan DPR
  • Perdana Menteri diangkat oleh Presiden
Kabinet Natsir
Masa pemerintahan Kabinet Natsir (6 September 1950 - 20 Maret 1951). Merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi.
Program  : Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman; Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan; Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang; Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat; Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
Hasil : Berlangsung perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.
Masalah yang dihadapi: Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu (kegagalan); Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS.
Berakhirnya kekuasaan kabinet: Adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
Kabinet Sukiman
Masa Pemerintahan Kabinet Sukiman (27 April 1951 - 3 April 1952). Merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI.
Program : Menjamin keamanan dan ketentraman; Mengusahakan kemakmuran rakyat; Mempercepat persiapan pemilihan umum; Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
Hasil: Tidak terlalu berarti sebab programnya melanjtkan program Natsir hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya program Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketentraman
Masalah yang dihadapi: telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat; Adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi; Masalah Irian barat belum juga teratasi; Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik
Berakhirnya kekuasaan kabinet: Muncul pertentangan dari Masyumi dan PNI atas tindakan Sukiman sehingga mereka menarik dukungannya pada kabinet tersebut. DPR akhirnya menggugat Sukiman dan terpaksa Sukiman harus mengembalikan mandatnya kepada presiden.
Kabinet Wilopo
Masa Pemerintahan Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953)
Program  : Program dalam negeri      : Menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante, DPR, dan DPRD), meningkatkan kemakmuran rakyat, meningkatkan pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan. Program luar negeri : Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda, Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Masalah yang dihadapi: Adanya kondisi krisis ekonomi; Terjadi defisit kas negara; Munculnya gerakan sparatisme t; Terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. Merupakan merupakan pertentangan antara TNI dan sipil. Inti peristiwa ini adalah gerakan sejumlah perwira angkatan darat guna menekan Sukarno agar membubarkan kabinet. Munculnya peristiwa Tanjung Morawa,Inti peristiwa Tanjung Morawa adalah peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli).
Berakhirnya kekuasaan kabinet   :  Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden.
Kabinet Ali Sastroamijoyo
Masa Pemerintahan Kabinet Ali Sastroamijoyo  (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
Program: Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera menyelenggarakan Pemilu; Pembebasan Irian Barat secepatnya; Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan     KMB dan Penyelesaian Pertikaian politik
Hasil: Persiapan Pemilihan Umum 1955; Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.
Kendala/ Masalah yang dihadapi:  Menghadapi masalah keamanan di daerah yang belum juga dapat terselesaikan, seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh. terjadi peristiwa 27 Juni 1955 suatu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD. Masalah TNI –AD yang merupakan kelanjutan dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Keadaan ekonomi yang semakin memburuk. Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Munculnya konflik antara PNI dan NU .
Berakhirnya kekuasaan kabinet; Nu menarik dukungan dan menterinya dari kabinet sehingga keretakan dalam kabinetnya inilah yang memaksa Ali harus mengembalikan mandatnya pada presiden.
Kabinet Burhanuddin Harahap
Masa Pemerintahan Kabinet Burhanuddin Harahap  (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Program: Mengembalikan kewibawaan pemerintah. Melaksanakan pemilihan umum 1955. Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi. Perjuangan pengembalian Irian Barat. Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
Hasil: Penyelenggaraan pemilu pertama yang demokratis pada 29 September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih konstituante). Perjuangan Diplomasi Menyelesaikan masalah Irian Barat dengan pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Pemberantasan korupsi; Terbinanya hubungan antara Angkatan Darat dengan Kabinet Burhanuddin. Menyelesaikan masalah peristiwa 27 Juni 1955.
Kendala/ Masalah yang dihadapi : Banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan dianggap menimbulkan ketidaktenangan.
Berakhirnya kekuasaan kabinet: Dengan berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin dianggap selesai. Pemilu tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet sehingga kabinetpun jatuh. Akan dibentuk kabinet baru yang harus bertanggungjawab pada parlemen yang baru pula.
Kabinet Ali sastroamijoyo II
Masa pemerintahan Kabinet Ali Sastroamijoyo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Program: Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahunyang memuat program jangka panjang, sebagai berikut. Perjuangan pengembalian Irian Barat; Pembentukan daerah-daerah otonomi; Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai; Menyehatkan perimbangan keuangan negara; Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
Selain itu program pokoknya adalah: Pembatalan KMB, pemulihan keamanan dan ketertiban. Melaksanakan keputusan KAA.
Hasil: Mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment, hasilnya adalah Pembatalan seluruh perjanjian KMB.
Kendala/ Masalah yang dihadapi: Berkobarnya semangat anti Cina di masyarakat. Muncul pergolakan/kekacauan di daerah (PRRI/Permesta). Memuncaknya krisis di berbagai daerah. Pembatalan KMB oleh presiden, Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI.
Berakhirnya kekuasaan kabinet: Mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden.
Kabinet Djuanda
Masa pemerintahan Kabinet Djuanda ( 9 April 1957- 5 Juli 1959)
Program : Programnya disebut Panca Karya sehingga sering juga disebut sebagaiKabinet Karya, programnya yaitu : Membentuk Dewan Nasional; Normalisasi keadaan Republik Indonesia; Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB; Perjuangan pengembalian Irian Jaya; Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan
Hasil : Mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda; Terbentuknya Dewan Nasional . Sebagai titik tolak untuk menegakkan sistem demokrasi terpimpin; Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan pergolakan di berbagai daerah. Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan
Kendala/ Masalah yang dihadapi: Kegagalan Menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan di daerah semakin meningkat. Keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin buruk. Terjadi peristiwa Cikini, yaitu peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di depan Perguruan Cikini
Berakhirnya kekuasaan kabinet: Berakhir saat presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan mulailah babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi Terpimpin.
Pemilhan Umum Tahun 1955
Pemilihan Umum 1955 dilaksanakan pada masa kabinet Burhanuddin Harahap . dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955 (Pemilihan anggota parlemen) dan tanggal 15 Desember 1955 (Pemilihan konstituante). Pemihan umum 1955 menghasilkan 4 besar parpol pemenang pemilu (Masyumi, NU, PNI dan PKI).
Masa Demokrasi Terpimpin
Latar belakang munculnya demokrasi terpimpin: kegagalan konstituante dalam menyusun UUD baru serta ketegangan-ketegangan politik pasca pemilu 1955. Kemudian presiden Soekarno mengajukan konsepsi dengan nama demokrasi terpimpin. Dalam situasi yang tidak menentu akhirnya presiden Soekarno mengeluarkan dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 yang isinya:
  • Pembubaran konstituante
  • Berlakunya kembali UUD 1945
  • Tidak berlakunya UUDS 1950
  • Pembentukan MPRS dan DPAS
Didalam sistem demokrasi terpimpin, pada kenyataannya terjadi penyimpangan-penyimpangan konstitusi diantaranya; MPRS tunduk kepada Presiden; MPRS diangkat oleh Presiden; Pembubaran DPR hasil pemilu dan pengangkatan DPR-GR; Politik luar negeri yang cenderung berpihak kepada blok timur; Pengangkatan soekarno sebagai presiden seumur hidup.
Pada tanggal 17 Agustus 1959 presiden berpidato yang berjudul penemuan kembali revolusi kita, dikenal dengan manifesto politik RI, manifesto Politik RI kemudian dijadikan GBHN. Inti dari manifesto politik adalah USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi terpimpin dan Kepribadian Indonesia).
Pandangan politik luar negeri pada masa demokrasi terpimpin dilandasi oleh pandangan NEFO (New Emerging Forces) dan OLDEFO (Old  Established Forces). Nefo merupakan kekuatan baru yang sedang muncul yaitu Negara-negara Progresif Revolusioner (Indonesia dan Negara-negara komunis) yang anti kolonialisme dan imperialism. Sedangkan Oldefo adalah kekuatan lama yang telah mapan yakni Negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan imperialis (Nekolim). Pemerintah mengeluarkan konfrontasi terhadap pembentukan Negara Federasi Malaysia. Kareana Malaysia dianggap sebagai proyek neokolonialis Inggris yang membahayakan Indonesia dan Negara-negara Nefo. Dalam rangka itu dikeluarkan Dwi Komando rakyat (Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964 yang isinya sebagai berikut:
  • Perhebat ketahanan Revolusi Indonesia.
  • Bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri dari Nekolim Inggris.
Pelaksanaan Dwikora diawali dengan pembentukan Komando Siaga yang dipimpin Marsekal Omar Dani. Demokrasi terpimpin diakhiri dengan terjadinya peristiwa G30S/PKI dan digantikan oleh Orde Baru dibawah pimpinan Presiden Soeharto.