Kamis, 20 September 2018

Politik Luar Negeri Indonesia Masa Soekarno


Politik luar negeri Indonesia adalah kebijakan, sikap dan langkah pemerintah republik Indonesia yang diambil dalam melakukan hubungan dengan negara lain, dan subjek hukum internasional lainnya dalam rangka menghadapi masalah  Internasional guna mencapai tujuan nasional.
Pemerintahan Demokrasi Terpimpin Soekarno ini bersifat konfrontatif. Politik luar negeri Indonesia juga menjadi lebih militan, dikarenakan saat itu Indonesia menentang keras adanya nekolim, yakni imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme. Imperialisme ialah sebuah [kebijakan] di mana sebuah negara besar dapat memegang kendali atau pemerintahan atas daerah lain agar negara itu bisa dipelihara atau berkembang. Sebuah contoh imperialisme terjadi saat negara-negara itu menaklukkan atau menempati tanah-tanah itu. Kolonialisme atau Penjajahan adalah pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya, seringkali untuk mencari dominasi ekonomi dari sumber daya, tenaga kerja, dan pasar wilayah tersebut, Istilah ini juga menunjuk kepada suatu himpunan keyakinan yang digunakan untuk melegitimasikan atau mempromosikan sistem ini, terutama kepercayaan bahwa moral dari pengkoloni lebih hebat ketimbang yang dikolonikan. Neokolonialisme adalah praktik Kapitalisme, Globalisasi, dan pasukan kultural untuk mengontrol sebuah negara (biasanya jajahan Eropa terdahulu di Afrika atau Asia) sebagai pengganti dari kontrol politik atau militer secara langsung.
Arah politik Luar Negeri masa Demokrasi Terpimpin – Peran aktif Indonesia pada awal masa Demokrasi Terpimpin dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut :
1. Pengiriman Pasukan Garuda II ke Kongo untuk bergabung dengan pasukan perdamaian PBB, UNOC (United Nations Operation for Congo).
2. Presiden Soekarno berpidato dalam Sidang Umum PBB pada tanggal 30 September 1960. Judul pidato tersebut “To Built the World a New” yang menguraikan tentang Pancasila, masalah Irian Barat, kolonialisme, meredakan Perang Dingin, dan perbaikan organisasi PBB.
3. Ikut memprakarsai berdirinya PBB.
4. Pada tanggal 24 Agustus – 4 September 1962 Indonesia berhasil menyelenggarakan Asian Games IV di Jakarta.
Presiden Soekarno dalam era ini berusaha sekuat tenaga untuk mempromosikan Indonesia ke dunia internasional melalui slogan revolusi nasionalnya yakni Nasakom (nasionalis, agama dan komunis) dimana elemen-elemen ini diharapkan dapat beraliansi untuk mengalahkan Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme).  Dari sini dapat dilihat adanya pergeseran arah politik luar negeri Indonesia yakni condong ke Blok komunis, baik secara domestik maupun internasional.


Hal-hal yang terjadi pada masa politik luar negeri Indonesia (Soekarno) :
1.         Condong ke Blok Komunis
Hal ini dilihat dengan adanya kolaborasi politik antara Indonesia dengan China dan bagaimana Presiden Soekarno mengijinkan berkembangnya Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia. Alasan Soekarno mengijinkan perluasan PKI itu sendiri adalah agar komunis mampu berasimilasi dengan revolusi Indonesia dan tidak merasa dianggap sebagai kelompok luar.


2.         Merebut Irian Barat
Irian Barat, sebagai salah satu wilayah Indonesia yang seharusnya telah merdeka dari penjajahan Belanda tidak dapat merasakan kemerdekaan dari penjajahan tersebut. hal ini disebabkan oleh Belanda yang masih belum mau mengakui kemerdekaan Indonesia. Belanda menduduki wilayah Irian Barat sebagai bentuk penolakan kemerdekaan Indonesia tersebut. Demi kembalinya Irian Barat ke pangkuan Indonesia, pemerintah melakukan berbagai cara untuk melemahkan kekuatan Belanda di Indonesia. Soekarno sebagai Presiden Indonesia saat itu menerapkan berbagai kebijakan demi lepasnya Irian Barat dari Belanda. Perjuangan pembebasan Irian Barat tersebut, dilakukan diantaranya melalui jalan perundingan. Puncak dari berbagai perundingan yang dilakukan Indonesia dengan Belanda adalah Konferensi Meja Bundar. Konferensi Meja Bundar tersebut diadakan di Den Haag, Belanda pada tahun 1949. Hingga akhirnya Belanda melanggar hasil Konferensi Meja Bundar tersebut, yakni ketika Belanda enggan menyerahkan Irian Barat pada Indonesia bahkan setelah satu tahun disepakatinya hasil perundingan tersebut. Sedangkan dalam perundingan tersebut dituliskan bahwa Belanda harus menyerahkan Irian Barat Kepada Indonesia setahun setelah pelaksanaan Konferensi Meja Bundar. Sehingga akhirnya Soekarno menempuh jalan keras.
Dalam rapat raksasa di Yogyakarta yang terjadi pada tanggal 19 Desember 1961, Soekarno mengeluarkan perintah yang dikenal sebagai Tri Komando Rakyat atau Trikora. Trikora tersebut berisi :
                                               I.                    Gagalkan pembentukan “Negara Papua” buatan Belanda.
                                            II.                    Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat.
                                         III.                    Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.
Selain itu, Soekarno juga melakukan jalan lain yakni melalui cara aksi massa, pengerahan sukarelawan dan penerjunan darurat di wilayah Irian Barat. Dalam pengerahan sukarelawan dan penerjunan darurat di wilayah Irian Barat tersebut, Indonesia dibantu oleh Uni Soviet yang saat itu terlibat Perang Dingin dengan Amerika Serikat sekaligus sebagai taktik dalam menarik perhatian Amerika Serikat. Tindakan tersebut dilatar belakangi oleh penolakan Amerika Serikat terhadap pemberian bantuan bersenjata ke Indonesia. Menghadapi hal tersebut, Amerika Serikat mendesak Belanda yang saat itu sebagai sekutunya agar segera berunding dengan Indonesia dengan syarat – syarat perundingan yang diajukan Amerika Serikat terhadap Belanda sangat menguntungkan Indonesia. Selain itu, Amerika Serikat juga khawatir akan terjadinya konflik bersenjata di tanah Irian Barat. Sehingga 15 Agustus 1962 menjadi hari yang bersejarah bagi Indonesia. Dimana ditandanginya Perjanjian New York antara Indonesia dengan Belanda yang bertempat di Markas Besar PBB di New York. Isi perjanjian New York tersebut adalah :
Pemerintah Belanda akan menyerahkan Irian Barat kepada Penguasa Pelaksana Sementara PBB (UNTEA = United Nations Temporary Executive Authority) pada tanggal 1 Oktober 1962.
Pada tanggal 1 Oktober 1962 bendera PBB akan berkibar di Irian Barat berdampingan dengan bendera Belanda, yang selanjutnya akan diturunkan pada tanggal 31 Desember untuk digantikan oleh bendera Indonesia mendampingi bendera PBB.
Pemerintah UNTEA berakhir pada tanggal 1 Mei 1963, pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada pihak Indonesia.

3.         Konfrontasi kedekatan Jakarta dengan Moskow.

4.         Indonesia mengalami konfrontasi dengan Malaysia.

Konfrontasi tersebut terjadi pada tahun 1963 hingga 1966. Hal tersebut dilatar belakangi oleh pernyataan Tengku Abdul Rachman, Perdana Menteri Malaya yang mengemukakan gagasan pembentukan Federasi Malaysia yang terdiri dari Malaya, Singapura, Serawak, dan Sabah. Sehingga muncullah bentuk penolakan Indonesia atas pembentukan negara federasi tersebut dengan melahirkan konsep “Ganyang Malaysia”. Konsep tersebut merupakan bukti bahwa Indonesia menolak dan melawan adanya neokolonialisme yang terjadi di Malaysia. Soekarno beranggapan bahwa dengan adanya Negara Federasi Malaysia akan membuka jalan kolonialisme dan imperialisme di Asia Tenggara. Disamping itu, konsep Negara Federasi Malaysia sangat bertolak belakang dengan politik luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia. Selain itu, Indonesia beranggapan bahwa Negara Federasi Malaysia merupakan gagasan Inggris, bukan gagasan rakyat Malaya, Singapura, Serawak, dan Sabah.
Selain itu, jika Negara Federasi Malaysia tersebut terbentuk Indonesia khawatir akan dikepung di sebelah utara oleh Inggris yang berujung pada proyek neokolonialisme yang membahayakan revolusi Indonesia. Tidak hanya Indonesia, Filipina juga menentang pembentukan Negar Federasi Malaysia. Hal ini didasari oleh keinginan Filipina untuk memiliki wilayah Sabah di Kalimantan Utara. Filipina beranggapan bahwa secara historis wilayah Sabah merupakan milik Sultan Sulu (klikbelajar.com).

Pada bulan April 1963 dilakukan beberapa pertemuan para menteri luar negeri Indonesia – Malaysia – Filipina sebagai upaya meredakan ketegangan antara ketiga tersebut sehingga tercapai kesepakatan bersamadengan dihadiri tiga kepala negara maupun kepala pemerintahan yakni PM Malaya Tengku Abdul Rachman, Presiden Indonesia Ir. Soekarno, dan Presiden Filipina Diosdado Macapagal diadakanlah KTT Maphilindo (Malaya, Philipina, dan Indonesia) di Manila (Filipina) pada 31 Juli – 5 Agustus 1963 (klikbelajar.com). Deklarasi Manila, Persetujuan Manila, dan Komunike Bersama merupakan hasil KTT Maphilindo yang berisi Indonesia dan Filipina menyambut baik pembentukan Federasi Malaysia seandainya rakyat Kalimantan Utara mendukungnya. Sehingga  PBB membentuk suatu tim penyelidik dengan ditunjuknya delapan orang sekretariat di bawah pimpinan Lawrence Michelmore yang mulai bertugas pada 14 September 1963. Namun, sebelum tugas penyelidikan PBB tersebut selesai, Malaysia telah memproklamirkan berdirinya Negara Federasi Malaysia pada 16 September 1963. Tak dapat dipungkiri bahwa kenyataan tersebut mengejutkan Indonesia dan Filipina. Sehingga Indonesia beranggapan bahwa Malaysia telah menodai martabat PBB dan menyulut permusuhan dengan Indonesia. Sebagai bentuk penolakan, dicetuskanlah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada 3 Mei 1964 di Jakarta yang berisi :

                                                    I.                Perhebat ketahanan revolusi Indonesia.
                                                 II.                Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunei untuk menggagalkan negara boneka Malaysia.

5.         Indonesia Keluar dari PBB
Ditetapkannya Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, menyulut kemarahan Indonesia. Hingga akhirnya pada 15 September 1965 Indonesia keluar dari PBB karena Soekarno beranggapan bahwa PBB berpihak pada Blok Barat. Berikut ini merupakan alasan Indonesia keluar dari PBB:
·      Presiden Soekarno menganggap bahwa markas PBB (New York) tidak netral. Seharusnya diluar blok Amerika dan blok Uni Soviet.
·      PBB dianggap lamban dalam menyikapi konflik antara negara.
·      Adanya hak veto yang dimiliki oleh lima negara yakni Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet (Rusia) Perancis dan Cina mencerminkan dominasi negara tertentu
·      Banyak kebijakan yang menguntungkan negara-negara Barat.

Mundurnya Indonesia dari PBB berujung pada terhambatnya pembangunan dan modernisasi Indonesia karena menjauhnya Indonesia dari pergaulan Internasional.


6.         Presiden Soekarno memperkenalkan doktrin politik baru
Doktrin itu mengatakan bahwa dunia terbagi dalam dua blok, yaitu :
Ø Old Established Forces (Oldefo) adalah negara-negara imperialis/kolonialis/kapitalis dan negara negara sedang berkembang yang cenderung pada imperialisme/kolonialis.
Ø New Emerging Forces (Nefo) yaitu kelompok negara-negara sedang berkembang yang anti imperialis/kolonialis dan sosialis serta komunis. Indonesia temasuk dalam Nefo.
. Presiden Soekarno dengan politik mercusuarnya berpendapat bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang mampu menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia. Dengan politik mercusuar, Indonesia mengambil posisi sebagai pelopor dalam memecahkan masalah-masalah internasional pada masa itu. Dengan demikian Indonesia akan diakui sebagai negara yang pantas diperhitungkan di Asia.
Pada praktiknya, politik mercusuar merugikan masyarakat secara nasional. Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam masa demokrasi terpimpin, sistem politik yang diberlakukan juga menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945.
. Salah satu tindakan usaha penguatan eksistensi Indonesia dan Nefos juga dapat dilihat dari pembentukan poros Jakarta – Peking yang membuat Indonesia semakin dekat dengan negaranegara sosialis dan komunis seperti China.
Faktor dibentuknya poros ini antara lain :
a)    Karena konfrontasi dengan Malaysia menyebabkan Indonesia membutuhkan bantuan militer dan logistik, mengingat Malaysia mendapat dukungan penuh dari Inggris, Indonesia pun harus mencari kawan negara besar yang mau mendukungnya dan bukan sekutu Inggris, salah satunya adalah China.
b)   Indonesia perlu untuk mencari negara yang mau membantunya dalam masalah dana dengan persyaratan yang mudah, yakni negara China dan Uni Soviet.


7.         Soekarno dengan gencar melancarkan politik luar negeri aktif namun tidak diimbangi dengan kondisi perekonomian dalam negeri

kondisi perekonomian dalam negeri yang pada kenyatannya morat- marit akibat inflasi yang terjadi secara terus- menerus, penghasilan negara merosot sedangkan pengeluaran untuk proyek- proyek Politik Mercusuar seperti GANEFO (Games of The New Emerging Forces) dan CONEFO ( Conference of The New Emerging Forces) terus membengkak.

Ø    Pelaksanaan Games of The New Emerging Forces (GANEFO)
Ganefo merupakan pesta olahraga untuk negara-negara yang termasuk Nefo. Ganefo diadakan atas prakarsa Presiden Soekarno sebagai tandingan dari Olimpiade. Hal ini dilatarbelakangi oleh peristitwa sebelumnya yang mana Indonesia diskors oleh komite Olimpade dikarenakan pada saat Asian Games tahun 1962 di Jakarta, negara Israel dan Taiwan tidak boleh mengikuti pertandingan olahraga tersebut.
Ganefo dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 10-23 November 1963 yang diikuti oleh 53 negara. Penyelenggaraan Ganefo diboikot oleh negara-negara Barat. Meski demikian Ganefo tetap berlangsung. Motto dari Ganefo adalah “Maju Terus Jangan Mundur”. Lima besar perolehan medali pada Ganefo yaitu: Cina, Uni Soviet, Indonesia, Republik Arab Bersatu, dan Korea Utara.
Ø    Pelaksanaan Conference of The New Emerging Forces (CONEFO)
Pelaksanaan Conference of The New Emerging Forces (CONEFO) merupakan gagasan Presiden Soekarno untuk membentuk suatu kekuatan blok baru yang beranggotakan negara-negara berkembang untuk menyaingi blok barat dan blok timur. Conefo merupakan tandingan terhada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada saat itu, Presiden Soekarno menentang PBB dikarenakan PBB justru dikuasai oleh negara adidaya.
Sebagai realisasi dari adanya Conefo, maka Presiden Soekarno melakukan pembangunan gedung Conefo yang diharapkan akan lebih megah dibandingkan dengan markas PBB di New York. Rencananya Conefo akan dilaksanakan pada tahun 1966.  Akan tetapi gagal dilaksanakan karena kondisi politik Indonesia tidak menentu pasca adanya peristiwa G 30/S PKI.

Pada masa demokrasi terpimpin keadaan ekonomi Indonesia bisa dikatakan terpuruk dan sangat buruk. Tingkat inflasi sangat tinggi. Untuk mengatasi inflasi dan mencapai keseimbangan dan kemantapan. Keadaan keuangan negara (moneter), pemerintah melakukan beberapa tindakan sebagai berikut :
a.       Mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2 tahun 1959 yang mulai berlaku tanggal 25 Agustus 1959. Peraturan ini dikeluarkan untuk mengurangi banyaknya uang yang beredar. Untuk itu nilai uang kertas pecahan Rp. 500 dan Rp 1000 yang beredar saat itu diturunkan masing-masing menjadi Rp 50 dan Rp 100.
b.      Mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 3 tahun 1959 Tentang pembekuan sebagian dari simpanan pada bank-bank. Tujuannya untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran.
c.       Mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.6 tahun 1959. Peraturan ini berisi tentang ketentuan bahwa bagian uang lembaran Rp 1000 dan Rp 500 yang masih berlaku (yang sekarang bernilai Rp 100 dan Rp 50) harus ditukar dengan uang kertas bank baru sebelum tanggal 1 Januari 1960.
d.      Menyalurkan uang dan kredit baru ke bidang usaha-usaha yang dipandang penting bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan.

Meskipun sudah melakukan tindakan-tindakan di atas, pemerintah gagal. Uang yang beredar semakin meningkat, sehingga inflasi juga semakin tinggi. Kenaikan jumlah uang yang beredar ini juga disebabkan tindakan pemerintah yang mengeluarkan uang rupiah baru pada tanggal 13 Desember 1965.
Tindakan ini didasarkan pada Penetapan Presiden RI No. 27 Tahun 1965. Kegagalan pemerintah mengatur masalah keuangan dan ekonomi negara disebabkan juga oleh tidak adanya kemauan politik dari pemerintah untuk menahan diri dalam pengeluaran-pengeluarannya. Misalnya, untuk menyelenggarakan proyek- proyek mercusuar seperti Ganefo (Games of the New Emerging Forces) dan Conefo (Conference of the New Emerging Forces), pemerintah terpaksa harus mengeluarkan uang yang setiap tahun semakin besar. Akibatnya, inflasi semakin tinggi dan hargaharga barang semakin mahal sehingga rakyat kecil semakin sengsara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar