MASA DEMOKRASI TERPIMPIN
A. Pembahasan
  1. Konsepsi Demokrasi Terpimpin
Periode ini ditandai oleh beberapa ciri, yaitu pertama, peran dominan dari presiden, kedua, pembantasan atas peran DPR serta partai – partai politik kecuali PKIyang malahan mendapat kesempatan untuk berkembang, dan ketiga peningkatan peran ABRI sebagai kekuatan sosial – politik.[1]
Keadaan serba tidak menentu itu mendorong Soekarno untuk mengumukan dekrit yaitu kembali ke UUD 1945, pada tanggal 5 Juli 1959. Dekrit itu disusul dengan pidato kenegaraan 17 Agustus 199, berjudul “Menemukan Kembali Revolusi Kita”. Bagi Soekarno pidato ini berupa pemerintahan yang kembali ke sistem presidensial dari sistem parlementer. Sejak itu, presiden bukan sekedar lambang negara, melainkan kepala pemerintahan. Sitem presidensial diharapkan dapat menghasilkan pemerintahan yang kuat, stabil dan berwibawa.
Tetapi presiden agak menyalahpahami dan mencapuradukkan pengertian pemerintahan yang kuat dengan kepemimpinan yang kuat. Pemerintahan lebihmengacu kepada sistem, sedangkan kepemimpinan mengacu kepada perorangan. Karena pandangannya itu, Soekarno mengubah sistem presidensial periodik lima tahunan menjadi sistem kepresidenan seumur hidup. Kemudian Soekarno tidak lagi memandang dirinya cukup sebagai kepala pemerintahan atau ketua eksekutif negara, melainkan sebagai “pemimpin besar revolusi”.[2]
Dalam rangka melaksanakan konsep Demokrasi Terpimpin serta UUD 1945, Presiden Soekarno membentuk alat – alat kenegaraan seperti MPR dan DPA. MPR dalam sidangnya pada tahun 1960, 1963,dan 1965, menetapkan kebijakan – kebijakan yang mencerminkan ide – ide Demokrasi Terpimpin. Selain itu juga dibentuk suatu Dewan Nasional yang terdiri dari 40 anggota, yang separuhnya terdiri dari golongan fungsional, seperti golongan buruh, tani, pengusaha wanita, pemuda, wakil – wakil berbagai agama, wakil daerah dan wakil ABRI. Komposisi Dewan Nasional mencerminkan pemikiran bahwa di luar partai politik beberapa kelompok masyarakat (termasuk ABRI) perlu didengar suaranya dan diberi kesempatan untuk berpatisipasi dalam proses politik.[3]
Selain itu dimulailah beberapa usaha untuk menyederhanakan sistem partai dengan mengurangi jumlah partai melalui Penpres No. 7 / 1959. Maklumat 3 Nopember 1945 yang menganjurkan pembentukan partai – partai dicabut dan ditetapkan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh partai untuk diakui oleh pemerintah. Partai yang kemudian dinyatakan memenuhi syarat adalah PKI, PNI, NU, Partai Katolik, Partai Islam Perti, sedangkan beberapa partai lain dinyatakan tidak memenuhi syarat. Dengan dibubarkannya Masyumi dan PSI pada tahun 1960 tinggal 10 partai politik saja.
Disamping itu dicari wadah untuk memobilisasi semua kekuatan politikdi bawah pengawasan pemerintah. Wadah itu dibentuk pada tahun 1960 yaitu Front Nasional. Semua partai termasuk PKI, diwakili di dalamnya, begitu pula kelompok – kelompok yang sebelumnya kurang mendapat kesempatan untuk berpatisipasi dalam proses membuat keputusan, yaitu golongan fungsional dan ABRI. Melalui kehadirannya dalam Front Nasional, yang berdasarkan NASAKOM, PKI berhasil mengembangkan sayaonya dan mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan politik. Front Nasional dianggap untuk melemahkan partai – partai politik.[4]
Pemerintahan presidensial periodik yang seharusnya dilaksanakan dengan mencontoh dan mengembangkan sistem serupa yang sudah mapan di dunia, ia ubah menjadi Demokrasi Terpimpin. Beberapa partai politik yang dipersatukan oleh platform demokrasi modern, yaitu Masyumi, Partai Sosialis Indonesia (PSI), Parkindo, dan Partai Katolik, di dukung beberapa pribadi tokoh kalangan NU dan PNI dan dengan restu Bung Hatta, membentuk gerakan “Liga Demokrasi” guna menggalang kekuatan politik untuk mencegah dan menghalangi Bung Karno meluncur ke lembah kediktatoran. Sebab rakyat mulai merasakan kehilangan kebebasan sipilnya, dan ekonomi merosot sampai hampir membangkrutkan negara.[5]
  1. Manipol-USDEK dan Pelaksanaannya
Sampai dengan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945 pada bulan Juli 1959, Presiden Soekarno adalah pemegang inisiatif politik, terutama dengan tindakan dan janji-janjinya yang langsung ditujukan kepada pembentukan kembali struktur konstitusional. Akan tetap, tekanannya kemudian mulai bergeser kepada tindakan simbolis dan ritual, serta khususnya kepada perumusan ideologi seraya melemparkan gagasan-gagasanya berulang kali.
Sesungguhnya hanya sedikit tema-tema pidato presiden yag memakai tema-tema baru, karena itu berkaitan dengan diberlakukannya kembali undang-undang Dasar Revolusioner itu. Tiga bulan setelah pidato kenegaraannya itu, presiden Soekarno menyatakan naskah pidato itu menjadi “ Manifesto Politik Republik Indonesia”. Bersamaan dengan itu presiden mengesahkan rincian sistematikanya yang disusun oleh Dewan Pertimbangan Agung. Presiden selalu mengngkapkan bahwa revolusi Indonesia mengandung lima gagasan penting. Pertama, Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, Sosialisme ala Indonesia; ketiga, Demokrasi Terpimpin; keempat, Ekonomi Terpimpin dan kelima, Kepribadian Indonesia. Dengan mengambil huruf pertama masing-masing gagasan itu, maka muncullah singkatan USDEK. ‘ Manifesto Politik Republik Indonesia” disingkat “Manipol”, dan ajaran baru itu dikenal dengan “ Manipol-USDEK”.[6]
Dibidang poitik luar negeri Manipol menyatakan sebagai tujuan jangka pendek “ melanjutkan perjuangan anti-imperialsme ditambah dengan mempertahankan kepribadian Indonesia di tengah-tengah tarikan-tarikan ke kandan ke kiri. Revolusi Indonesia bertujuan untuk “melenyapkan imperialismedi mana-mana, dan mencapai dasar-dasar bagi perdamainan duniaa yang kekal dan abadi”. Dengan manipol itu Indonesia bermaksud untuk menghimpun kawan yang hendak dikonfrotasi terhadap “musuh revolusi” yaitu kapitalisme dan kolonialuisme.
Dalam pelaksanaan politik luar negeri di Indonesia yang aktif menuju kepada persahabatan dengna segala bangsa sesuai dengan “ Kerangka Ketiga Tujuan Revolusi” dalam “manipol” itu, Materi Luar Negeri Subandrio menyatakan, terdapat dua aspek dalam politik luar negeri Indonesia, yaitu:
  • menjalankan politik persahabatan dengan dunia luar secara konvensional, seperti yang dilakukan oleh semua negara.
  • berjuang menyelesaikan Revolusi Indonesia yang merupakan kenyataan da harus diterima oleh dunia luar.
Manipol-USDEK tidak semua masyarakat menerima sepenuh hati, sedangkan sebagian lain menaruh curiga. Manipol-USDEK itu sendiri tidaklah begitu jelas. Selain itu bukan pulan satu upaya mensintesiskan semua pola penting dari orientasi politik yang ada di Indensia, karena Islam yang terorganisasi. Ideologi negara apapun belum mampu menjembatani perbedaan besar orientasi politik kutub aristokratis Jawa dan kutub kewiraswastaan Islam. Dapat dipastikan, Manipol-USDEK tidak mampu.
Pelaksanaan Manipol-USDEK dipaksakan , umumnya dengan tindakan yang semakin dibuat-buat. Memang, manipol-USDEK merupakan pembenaran utama dalam upaya pengendalian pikiran. Sebagian besar dari proses pengendalian tersebut dilaksankan menurut peraturan pemerintah tentang pers. Sebab, menurut perumusan Manipol-USDEK mengenai pers, “pers harus berperan sebgai alat perjuangan untuk penyelesaian revolusi”.
Manipol-USDEK rupanya agak mudah dikenal melalui kurikulim sekolah dasar dan sekolah menengah tingkat pertama, dan materinya tercakup dalam berbagai kampanye penerangan dan propaganda yang dirancang untuk jumlah besar rakyat. akan tetapi banyak kesukaran dijumpai di sekolha SMA dan Perguruan Tinggi. Merka cendrung menyambutnya dengan permusuhan, sinisme, dan acuh tak acuh. Ideologi itu menarik bagi sebgaian mahasiswa yang idealis, karena memberi dorongan baru bagi keterlibatan universitas dalam masalah-masalah masyarakat.[7]
  1. Perjuangan Pembebasan Irian Barat
Berdasarkan sidang PPKI tanggal 19 Agustus 1945, wilayah Republik Indonesia meliputi seluruh bekas wilayah Hindia Beland yang dibagi menjadi delapan propinsi. Salah satu provinsi yaitu Propinsi maluku yang di dalamnya terdapat wilayah Irian Barat.[8] Salah satu program Kabinet Kerja adalah pembebasan Irian Barat, yang meruoakan tuntutan nasional secara mutlak. Pasal 1 persetujuan KMB 1949, mengenai penyerahan kedaulatan atas Indonesia yang berbunyi : Kerajaan Belanda menyerahkan kedaultan sepenuhnya atas Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat dan tidak dapat dicabut dan karena itu mengakui RIS sebagai negara yang berdaulat.[9]
Dalam KMB di Den Haag pada 23 Agustus – November 1949, dua hari sebelum berakhirnya konferensi, wilayah Irian Barat baru dibicarakan. Menurut delegasi Belanda, Irian Barat perlu mendapat status khusus, karena wilayah itu di bidang ekonomi tidak mempunyai hubungan dengan wilayah – wilayah Indonesia. Irian Barat dinilai harus berada di luar wilayah RIS. Irian Barat dinilai mempunyai hubungan politik yang khusus dengan Kerajaan Belanda yang akan diperintah sesuai Piagam PBB. Menurut pemerintah Belanda, Irian Barat secara etnik dan kebudayaan bukan bagian dari Indonesia, karena itu tidak alasan untuk menyerahkan Irian Barat ke Indonesia.[10] Kabinet Belanda meyakinkan bahwa penyerahan Irian Barat tidak bisa disahkan oleh konferensi, karena tidak mungkin mencapai suara 2/3. Sebaliknya, delegasi Indonesia berpendapat bahwa Irian Barat harus diserahkan kepada RIS, karena selama itu telah terjalin hubungan etnologi, ekonomi, dam agama.[11]
Jalan buntu akhirnya diselesaikan dengan suatu rumusan kompromi. Rumusannya adalah agar status quo (yaitu pengawasan dan pemerintahan) Belanda di Irian Barat boleh berlaku dengan terus berlaku terus dengan keputusan bahwa dalam waktu sejak penyerahan kedaulatan kepada RIS masalah status politik Irian Barat akan ditentukan melalui perundingan – perundingan antara RIS dan Belanda. Berbagai persetujuan yang dicapai selama konferensi kemudian ditandatangani pada tanggal 2 Nopember 1949 oleh delegasi RI, BFO dan Belanda.
  1. Perundingan Bilateral
Masalah Irian Barat yang belum selesai melalui KMB tetap menjadi perhatian pemerintahan Indonesia, baik oleh pemerintah RIS maupun pemerintah – pemerintah sesudahnya. Salah satu dari 7 program pemerintah RIS adalah menyelesaikan soal Irian Barat dalam setahun ini juga dengan jalan damai.[12]Setelah Indonesia kembali menjadi NKRI pada tanggal 17 Agustus 1950, kabinet pertama yaitu Kabinet Mohammad Natsir (6 September 1950 – 30 Maret 1951) memasukkan masalah Irian Barat sebagai salah satu program kabinetnya. Program kabinet dr. Sukiman Wirjosandjojo (27 April 1951 – 3 April 1952) adalah menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya. Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 1 Agustus 1953) mempunyai program antara lain pengembalian Irian Barat ke Indonesia.[13]Kabinet – kabinet berikutnya, yaitu Kabinet Ali I (1 Agustus 1953 – 12 Agustus 1955), Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 24 Maret 1956), Kabinet Ali II (24 Maret 1956 – 9 April 1957), dan Kabinet Djuanda (9 april 1957 – 10 Juli 1959) tetap mencantumkan masalah Irian barat dalam program kabinetnya. Pembesalebasan Irian Barat merupakan tuntutan nasional secara mutlak.[14]
Konferensi Uni Indonesia – Belanda yang pertama diselenggarakan di Jakarta pada bulat Maret 1950. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Dr. Soepomo dengan anggota sebanyak 10 orang.[15] Delegasi Belanda dipimpin Menteri Uni dan Daerah Seberang Lautan Mr. J. H. Maarseven. Dalam konferensi, pemerintah Indonesia menitikberatkan penyelesaian masalah Irian Barat. Konferensi sepakat membentuk Komisi Gabungan yang bertugas mengumpulkan fakta tentang Irian Barat dan melaporkannya kepada Uni setelh tiga bulan. Hasil kerja komisi itu merupakan pembicaraan dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.
Menjelang penyerahan kedaulatan, pada tanggal 4 Desember 1950, dilagsungkan kembali Konferensi Uni di Den Haag. Delegasi Indonesia dipimpin oleh oleh Menteri Luar Negeri Mr. Mohammad Roem. Kedua belah pihak tetap mempunyai penafsiran yang berbeda. Delegasi Belanda tetap mempertahankan Irian Barat sedangkan delegasi Indonesia mengusulkan agar Belanda menyerahkan Irian Barat secar de jure dengan beberapa konsesi berdasarkan Uni Indonesia – Belanda. Konsesi itu dimaksudkan :
  1. Dalam mengembangkan sumber – sumber di Irian Barat akan diberi perhatian khusus kepada kepentingan Belanda di sana.
  2. Dalam aparat administrasi Irian Barat akan dipergunaka tenaga – tenaga Belanda.
  3. Pensiunan pegawai – pegawai Belanda di Irian Barat akan dijamin seperti di dalam KMB.
Konsesi yang diajukan oleh delegasi Indonesia ditolak delegasi Belanda. Mereka mengajukan usul, yaitu :
  • Agar dilaksanakan prinsip bahwa rakyat Nederland Nieuw – Guinea mempunyai hak untuk hari depannya sendiri.
  • Perlu dibentuk Dewan Irian dengan kedudukan Nederland dan Indonesia sederajat.
Kedua usul ini ditolak oleh delegasi Indonesia. Pada 23 Desember 1950, ketua delegasi Indonesia menyatakan tetap mempertankan usulnya agar Irian Barat diserahkan kepada Indonesia.[16] Saat status Irian Barat masih dalam sengketa, pemerintah Belanda bertindak lebih jauh. Pada pertengahan bulan Februari 1952, ketika perundingan sedang berlangsung dengan persetujuan parlemen Belanda, wilayah Irian Barat resmi dimasukkan sebagai bagian dari wilayah Kerajaan Belanda.[17] Setelah itu Belanda menolak untuk mengadakan perundingan untuk membahas masalah Irian Barat dan menganggap masalah tersebut telah selesai.[18]
Dengan tindakan Belanda tersebut jelaslah bahwa usaha penyelesaian secara bilateral telah mengalami kegagalan. Pemerintah Indonesia mengajukan masalah Irian ke dalam acara sidang Majelis Umum PBB. Pada bulan September 1955, Menteri Luar Negeri Sunario dalam Sidang Majelis Umum PBB menegaskan sikap Indonesia, mengenai tuntutan prinsip dekolonialisasi Irian Barat. Spitz, wakil Belanda menolak tuntutan Indonesia. Pada 23 Nopember 1954, pemerintah Indonesia mengajukan resolusi masalah Irian Barat kepada Panitia Politik PBB yang isinya “bahwa Irian Barat merupakan bagian dari NKRI, dan Indonesia mencari jalan peneyelesaian secara damai dan minta agar diadakan kembali perundingan dengan anjuran dan pengawasan PBB”. Pada sidang Panitia Politik PBB tanggal 30 Nopember 1954, resolusi Indonesia diterima dengan perbandingan suara 34 setuju, 14 menolak dan 10 abstain. Dalam sidang Majelis Umum tanggal 10 Desember 1954, terjadi perubahan perbandingan suara, tetapi perjuangan diplomasi di forum PBB megalami kegagalan.[19]
Karena jalan damai yang telah ditempuh selama lebih kurang 1 dasawarsa tidak berhasil mengemablikan Irian barat, pemerintah Indonesia memutuskan menempuh jalan lain. Dalam rangka itulah pada tahun1957 dilancarkan aksi – aksi pembebasan Irian di seluruh tanah air, yang dimulai dengan pengambilalihan perusahaan milik negara Belanda di Indonesia oleh kaum buruh. Untuk mencegah anarki dan menampung keinginan rakyat, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Nasution selaku Penguasa Perang Pusat memutuskan untuk mengambil alih semua perusahaan milik Belanda dan kemudian menyerahkannya kepada pemerintah.
Pada tanggal 17 Agustus 1956 Presiden Soekarno mengumumkan pembentukan Propinsi Irian Barat sebagai salah satu dari 23 propinsi Ridengan ibukota Soasiu di Tidore. Yang menjadi gubernur adalah Zainal Abidin Syah, serang bangsawan Tidore.[20] Hubungan yang tegang antara Indonesia dengan Belanda mencapai puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1960. Pada waktu itu RI secara resmi memutuskan hubungan diplomatik dengan pemerintah Kerajaan Belanda.
Di dalam suasana anti Belanda yang makin meningkat, pada tanggal 18 Nopember 1957 diadakan rapat umum pembebasan Irian Barat di Jakarta. Rapat umum itu diikuti oleh aksi pemogokan total oleh buruh – buruh yang bekerja pada perusahaan – perusahaan Belanda yaitu pada tanggal 2 Desember 1957. Pada hari itu juga pemerintahan melarang beredarnya semua terbitan dan film yang menggunakan bahasa Belanda. Kemudian KLM dilarang mendarat dan terbang diatas wilayah Indonesia. Pada tanggal 5 Desember 1957 semua kegiatan perwakilan konselor Belanda di Indonesia diminta untuk dihentikan.[21]
  1. Penyelesaian melalui Konfrontasi
Dalam rangka persiapan merebut Irian Barat, pemerintah RI mencari bantuan senjata ke luar negeri. Mula – mula diharapkan pembelian senjata beserta suku cadang dari negara – negara Barat, terutam Amerika Serikat namun tidak berhasil. Usaha dilanjutkan ke negara – negara komunis, terutama Uni Soviet. Pada tanggal 23 September 1960, misi militer Indonesia yang terdiri dari Laksamana R.E. Martadinata didampingi oleh Kolonel Kko Ali Sadikin dan Letkol Samsul Bahri pergi ke Uni Soviet dan Polandia untuk meningkatkan kekuatan angkatan laut.
Pada 28 Desember 1960, misi Menteri Keamanan Nasional / KSAD Jendera A.H. Nasution dan Menlu Subandrio menyusul ke Moskow. Pada 6 Januari 1961, ditandatanganilah komunike bersama tentang pembelian senjata dari Uni Soviet. Misi Jendral Nasution dilanjutkan dengan mengunjungi beberapa negara, yaitu India, Pakistan, Thailand, Filipina, Australia, Selandia Baru, Jerman, Prancis dan Inggris untuk menjajaki sikap merekajika terjadi perang Indonesia dengan Belanda. Kesimpulan Jendral Nasution adalah bahwa negara – negara tersebut tidak ada yang terikat dengan Belanda dibidang militer.[22]
Menghadapi persiapan – persiapan militer Indonesia pihak Belanda mengajukan protes kepada PBB dengan menuduh Indonesia melakukan agresi. Selanjutnya Belanda memperkuat kedudukannya di Irian Barat dengan mendatangkan bantuan dan mengirimkan €kapal perangnya ke perairan Irian diantaranya kapal induk Karel Doorman.[23] Pada tanggal 19 Desember 1961 di Yogyakarta, Presiden Soekarno mengeluarkan komando untuk berkonfrontasi secara militer dengan Belanda yang disebut Tri Komando Rakyat (TRIKORA) yang isinya sebagai berikut :
  • Gagalkan pembentukan Negara Boneka papua buatan Belanda Kolonial.
  • Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat.
  • Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.[24]
Pada hari yang sama, Menlu Sunbandrio mengatakan di parlemen bahwa pemerintah Indonesia akan melaksanakan konfrontasi di segala bidang, yaitu di bidang politik, ekonomi, jika perlu bidang militer. Pada 21 Desember 1961, dalam sepucuk surat kepada Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy, Presiden Soekarno memperingatkan bahwa Indonesia akan menempuh jalan kekerasan jika perlu. Dengan diucapkannya TRIKORA mulailah konfrontasi total terhadap Belanda. Pada tanggal 2 Januari 1962 Presiden / Pangti ABRI / Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan Keputusan No. 1 Tahun 1962 untuk membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat.[25]
Sementara itu, pemerintah Belanda banyak mendapat tekanan dari Amerika Serikat agar kembali berunding untuk mencegah terseretnya Uni Soviet dan Amerika Serikat ke dalam suatu konfrontasi langsung di Pasifik Barat Daya dimana tiap – tiap pihak memberi bantuan kepada pihak yang bersengketa, yaitu Republik Indonesia dan Belanda. Dengan demikian, pada tanggal 15 Agustus 1962 ditandatangani suatu perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Belanda di New York, yang terkenal dengan Perjanjian New York.[26]
Soal yang terpenting dalam perjanjian itu ialah mengenai penyerahan pemerintahan Irian Barat dari pihak Belanda kepada PBB. Untuk kepentingan tersebut dibentuklah United Nations Temporary Excecutive Authority (UNTEA) yang pada gilirannya akan menyerahkan pemerintahan sementara PBB kepada RI sebelum tanggal 1 Mei 1963. Indonesia menerima kewajiban untuk mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di Irian sebelum akhir tahun 1969, dengan ketentuan bahwa kedua belah pihak Indonesia dan Belanda akan menerima hasilnya. Sementara itu, pemulihan kembali hubungan diplomatik antara kedua negara dilakukan pada tahun 1963 itu juga, dengan pembukaan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag dan Kedutaaan Besar Kerajaan Belanda di Jakarta.[27]
Sehari setelah Perjanjian New York ditandatangani, keluar perintah presiden RI untuk menghentikan tembak – menembak sejak 18 Agustus 1962 pukul 09.31 waktu Irian Barat. Perintah presiden disusul surat perintah Panglima Mandala yang ditujukan kepada seluruh pasukan agar mentaati penghentian tembak – menembak dan mengadakan kontak dengan perwira – perwira peninjau PBB. Pada tanggal 31 Desember 1962, bendera Belanda secara resmi diturunkan dan tanggal 1 Januari 1963 bendera Indonesia dinaikkan disamping bendera PBB di Kotabaru.[28]
Sengketa Irian Barat akhirnya selesai. Pada 1 Mei 1963 Irian Barat diserahkan secara resmi oleh UNTEA yang diwakili oleh Dr. Djalal Abdoh kepada Indonesia yang diwakili oleh Sudjarwo Tjondronegoro disaksikan Menlu Dr. Subandrio dan utusan PBB. Penyerahan kekuasaan ditandai dengan upacara penurunan bendera UNTEA dan pengibaran Merah Putih dan dilanjutkan dengan defile pasukan dari pasukan Pakistan, APRI, dan polisi Papua. Pada hari itu juga dilantik E. J. Bonay sebagai gubernur Propinsi Irian Barat oleh Wakil Menteri Pertama Urusan Irian Barat Dr. Subandrio.[29]
Memenuhi isi Perjanjian New York, pada 14 Juli – 2 Agustus 1969 Indonesia menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) untuk mengetahui keinginan rakyat Irian Barat, apakah mereka bersedia bergabubg dengan Indonesia atau ingin berdiri sendiri.[30] Hasilnya adalah rakyat Irian Barat memilih bergabung dengan Indonesia. Hasil tersebut disahkan dengan resolusi PBB tanggal 19 September 1969.[31] Sejak itu, sesuai dengn Perjanjian New York, Irian Barat resmi menjadi wilayah Negara Republik Indonesia.[32]
  1. Interaksi Dengan Tiga Kekuatan
Dalam periode demokrasi liberadan demokrasi terpimpin Partai Komuns Indonesia (PKI) Berusaha menempatk dirinya sebagai golongan yang menerima Panasila sebagai dasar negara Rerpublik Indonesia. Hal itu merupakan bagian dari pada trateginya untumengambil alih kekuasaan di Indonesia dengan sejauh mungkin mengikuti aturan permainan parlementer, hingga tiba saat yang tepat untuk merebut kekuasaan.
Kegagalan konstituante nentapkan UUD mendorong Presiden Soekarno untuk mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 bagi bangsa Indonesia dan sekligus membubarkan Konstituante.
Dalam perkembangan selanjutnya, kekuatan politik pada masa itu terpusat di tangan Presiden Soekarno dengan TNI-AD dan PKI disampingnya. Sehubung dengan strategi PKI yang menempel kepada Soekarno, PKI secara sistematis berusaha memperoleh citra sebgai Pancasilas dan yang mendukung ajaran-ajaran Presiden Soekarno yang menguntungkannya.[33]
Ajaran Nasakom ( asional, Agama, dan Komunis) ciptaan Presiden Soekarno sangat menguntungkan PKI karena mendapatkanya sebgai unsur yang sah dalam Pergerakan Nasional dan dalam konstelasi politik Indonesia. Dengan demikian kedudukan PKI semakin kuat dan respektabilitasnya sebagai kekuatan politik sangat meningkat.
Sehubung dengan kedudukan Pancasila sebgai dasar negara Republik Indonesia, maka pada tahun 1964 telah tibul kehebohan dalam masyarakat. Dimana dalam pidato Aidit didepan kursus kader Revolusi angkatan Dwikora memberikan stateman bahwa bila telah tercapai taraf hidup adil dan makmur dan telah sampai kepada sosialisme Indonesia, maka pancasila tidak dibutuhkan lagi. akibat statemen tersebut muncullah reaksi keras dari masyarakat.
Usaha-usaha Persiden untuk membentuk Kabinet Gotong Royong pada tahun 1960, mendapat tantangan dari golongan agama dan pimpinan PNI-AD. Namun Presiden memberi angin kepada PKI dengan memberikan mereka kedudukan dalam DPR-GR dan DPA serta dalam kepengurusan Besar Front Nasional dan Pegurus Front Nasional Daerah. Melihat kenyataan itu TNI-AD beruasaha mengimbanginya dengan mengajukan calon-caoln lai, sehingga meupaka cheking terhadap PKI dalam komposisinya. akan tetapi usaha itu tetap tidk menuai hasil, sebab Presiden Soekarno memberikan dukungan besar kepada PKI. Pimpinan TNI-AD berdasarkan UU Keadaan bahaya mengambil tindakan-tindakan pengawasan terhadap PKI. Tindakan TNI-AD untuk mengamankan Pancasila ersebut tidak disetujui oleh Presiden Soekarno, malahan memerintah untuk mencabut keputusan tersebut.
interaksi tiga kekuatan besar ini, memperlihatkan bahwa Presiden cendrung memberikan kekuatan bsar kepada PKI, Sehingga dlam berbagai hal PKI sangat mendominasi. Demikianlah watak dari sistem Demokrasi Terpimpin di dalam prakteknya. Dekrit 5 Juli 1959 yang pokoknya adalah bagsa Indonesia kembali kepada UUD 1945 yang berdasrkan Pancasila Dasar Negara yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, ternyata diselewengkan menjadi salah satu sistem ptokratis yang didominasi oleh PKI.
  1. Konfrontasi dengan Malaysia
Konfrontasi Indonesia dan Malaysia atau yang lebih dikenal dengan ‘Konfrontasi’ mungkin adalah akar dari ketegangan-ketegangan yang sering dialami oleh kedua negara hingga saat ini. Berawal dari ketidaksukaan Indonesia pada rencana Malaya-Singapura-Inggris yang ingin membentuk sebuah persatuan negara-negara bekas jajahan Inggris di Asia Tenggara yang disebut Federasi Malaysia di tahun 1961, banyak pertentangan yang dilalui kedua negara di kemudian hari. Meskipun bukan karena masalah yang sama dengan yang dialami selama Konfrontasi berlangsung, sifat ambivalensi yang ditunjukkan kedua negara berlangsung secara terus-menerus.
Hubungan antara Indonesia dan Malaysia menjadi tergangu, terjadi perang kata-kata antara kedua belah pihak. Indonesia berpendirian beahwa gagasan Federasi Malaysia merupakan proyel Neokolonialisme Inggris, yang memabhayakan revolusi Indonesia, satu pangkalan militer asing yang ditujukan anatara lain ke Indonesia untuk menentang Indonesia dan juga menentang New Emerging Forcedi Asia Tenggara.[34]
Pada tahun 1961, Malaya, Singapura, dan Inggris berkeinginan untuk menyatukan wilayah-wilayah bekas koloni Inggris di Asia Tenggara menjadi Federasi Malaysia. Wilayah yang dimaksud adalah Malaya, Singapura, Sarawak, Sabah, dan Brunai. Meskipun begitu, pemimpin Partai Ra’ayat Brunai, Syekh A.M. Azahari, menolak rencana tersebut dan tidak ingin Brunai menjadi bagian dalam Federasi Malaysia.
Rencana ini juga ditentang oleh pemimpin dua negara yang wilayahnya berbatasan langsung dengan Sarawak dan Sabah, yaitu Indonesia dan Filipina.  Pada bulan Januari 1963, Presiden Seokarno menyatakan bahwa Indonesia tidak dapat menerima rencana penyatuan tersebut karena menganggap bahwa pembentukan Federasi Malaysia adalah bentuk neokolonisasi Inggris di Asia Tenggara. Sedangkan Presiden Diosdado Macapagal dari Filipina mengklaim wilayah Sabah sebagai bagian dari wilayahnya terkait dengan masalah historis yang dimiliki Sabah dengan Kesultanan Sulu di Filipina.
Karena desakan dari kedua negara, akhirnya diadakan pertemuan-pertemuan tingkat menteri dan konferensi-konferensi tingkat puncak antara Presiden Seokarno,  Presiden Macapagal, dan Tunku Abdul Rahman dari Malaya pada bulan Juli sampai Agustus 1963. Hasilnya, pada bulan Agustus 1963, dicapai sebuah kesepakatan bahwa akan diadakan penyelidikan terhadap pendapat rakyat Sarawak dan Sabah mengenai pembentukan Federasi Malaysia.
Namun, belum sempat hasil penyelidikan dilaporkan, Malaya mengumumkan bahwa Federasi Malaysia akan dibentuk pada tanggal 16 September 1963. Pihak Indonesia langsung memprotes dengan mengadakan demonstasi di jalan-jalan. Penyerangan ke kantor Kedutaan Besar Inggris dan Malaya di Jakarta juga dilakukan, yang segera dibalas oleh penyerangan ke kantor Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur.
Tanggal 17 September 1963, Malaysia memutuskan hubungan diplomatik dengan Indonesia dan empat hari kemudian, Indonesia memutuskan semua hubungan dengan Malaysia dan Singapura, yang termasuk hampir dari separuh ekspor Indonesia.[35] Maka dimulailah periode hubungan Indonesia dan Malaysia yang disebut sebagai Konfrontasi. Selama Konfrontasi berlangsung, Indonesia tidak mendapat dukungan dari negara-negara Barat sehingga politik luar negeri Indonesia makin condong ke kiri setelah Cina dan Rusia memuji kebijakan Seokarno tentang Konfrontasi.
Berhubungan dengan usaha Malaysia untuk menjadi anggota PBB, Presiden Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 31 Desember 1964, mengulangi apa yang pernah dikatakan pada tahun 1960, yaitu bahwa PBB sekarang adalah pencerminan keadaan dunia pada tahun 1945, sewaktu belum banyak terdapat negara-negara baru di Asia, hanya terdapat sedikit negara-negara baru di Afrika, dan rakyat-rakyat Amerika Latin belum lagi bangkit. “Oleh karenanya, jikalau PBB sekarang, PBB yang belum diubah, yang tidak lagi mencerminkan keadaan sekarang, jikalau PBB menerima Malaysia menjadi anggota Dewan Keamanan, kita Indonesia, akan keluar, kita aan meningglakan PBB sekarang”. Pada tanggal 7 Januari 1965, satu minggu setelah ancaman Indonesia itu dikeluarkan, Malaysia diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan.[36]
Ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap. Sukarno menarik Indonesia dari PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mencoba membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif. Sebagai tandingan Olimpiade, Soekarno bahkan menyelenggarakan GANEFO (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10-22 November 1963. Games of the New Emerging Forces (Ganefo) adalah pekan olahraga Internasional antara bangsa- bangsa The New Emerging Forces (Nefo) yaitu bangsa-bangsa yang progresif revolusioner penentang imperialisme dan neokolonialisme. Gagasan Ganefo dicetuskan oleh presiden Soekarno pada 1962 setelah Indonesia keluar dari keanggotaan Komite Olimpiade Internasional (IOC). Jadi Ganefo ditujukan untuk menandingi gerakan Olimpiade yang dinilai Soekarno terlalu dikuasai oleh negara-negara imperialis. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.[37]
Setelah sukses dengan Ganefo, Presiden Soekarno mencetuskan Conference of The New Emerging Forces (CONEFO) yang direncanakan sebagai tandingan PBB. Ide Conefo mendapat dukungan dari RRC dan Republik Persatuan Arab (Mesir,Libya dan Suriah). Pembangunan gedung Conefo dimulai pada tahun 1964, di sebelah barat Gelora Bung Karno yang sekarang menjadi Gedung MPR-DPR. Gagasan Conefo ini urung karena terjadi pemberontakan Gerakan 30 September.[38] Setelah itu dibentuklah Conference of The New Emerging Forces (CONEFO). Bahkan sampai akhir tahun 1966, saat menjelang kejatuhannya, Bung Karno masih yakin Indonesia akan dapat menyelenggarakan Conefo. “Saya sendiri Insya Allah bertekat bulat menyelenggarakan terus Conefo,” ucapnya pada pidato 17 Agustus 1966 berjudul “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah (Jasmerah). Conference of The New Emerging Forces (CONEFO) merupakan gagasan Presiden Soekarno untuk membentuk suatu kekuatan blok baru yang beranggotakan negara-negara berkembang untuk menyaingi 2 kekuatan blok sebelumnya (Blok Uni Soviet dan Blok Amerikat Serikat). Untuk keperluan tersebut dibangun suatu kompleks gedung dekat Gelora Senayan yang mendapat bantuan antara lain dari Cina (RRC).
Setelah itu, Indonesia meresmikan persekutuan Jakarta-Beijing yang semakin menunjukkan kecenderungan politik luar negeri Indonesia. Pada 9 Agustus 1965, akibat adanya gesekan politik dengan Malaysia, Singapura dikeluarkan dari Federasi dan berdiri sebagai negara yang berdaulat penuh. Segera setelahnya, Presiden Lee Kuan Yew dari Singapura menyatakan keinginannya untuk memperbaiki perdagangan dan hubungannya dengan Indonesia yang sempat terputus karena Konfrontasi.
B. Kesimpulan

Keadaan serba tidak menentu itu mendorong Soekarno untuk mengumukan dekrit yaitu kembali ke UUD 1945, pada tanggal 5 Juli 1959. Dekrit itu disusul dengan pidato kenegaraan 17 Agustus 199, berjudul “Menemukan Kembali Revolusi Kita”. Bagi Soekarno pidato ini berupa pemerintahan yang kembali ke sistem presidensial dari sistem parlementer. Sejak itu, presiden bukan sekedar lambang negara, melainkan kepala pemerintahan. Sitem presidensial diharapkan dapat menghasilkan pemerintahan yang kuat, stabil dan berwibawa.
Presiden selalu mengngkapkan bahwa revolusi Indonesia mengandung lima gagasan penting. Pertama, Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, Sosialisme ala Indonesia; ketiga, Demokrasi Terpimpin; keempat, Ekonomi Terpimpin dan kelima, Kepribadian Indonesia. Dengan mengambil huruf pertama masing-masing gagasan itu, maka muncullah singkatan USDEK. ‘ Manifesto Politik Republik Indonesia” disingkat “Manipol”, dan ajaran baru itu dikenal dengan “ Manipol-USDEK”.
Memenuhi isi Perjanjian New York, pada 14 Juli – 2 Agustus 1969 Indonesia menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) untuk mengetahui keinginan rakyat Irian Barat, apakah mereka bersedia bergabubg dengan Indonesia atau ingin berdiri sendiri.[39] Hasilnya adalah rakyat Irian Barat memilih bergabung dengan Indonesia. Hasil tersebut disahkan dengan resolusi PBB tanggal 19 September 1969.[40] Sejak itu, sesuai dengn Perjanjian New York, Irian Barat resmi menjadi wilayah Negara Republik Indonesia.
Indonesia meresmikan persekutuan Jakarta-Beijing yang semakin menunjukkan kecenderungan politik luar negeri Indonesia. Pada 9 Agustus 1965, akibat adanya gesekan politik dengan Malaysia, Singapura dikeluarkan dari Federasi dan berdiri sebagai negara yang berdaulat penuh. Segera setelahnya, Presiden Lee Kuan Yew dari Singapura menyatakan keinginannya untuk memperbaiki perdagangan dan hubungannya dengan Indonesia yang sempat terputus karena Konfrontasi.